Senin, 05 April 2010

MORAL KEPEMIMPINAN YANG TERDAPAT DALAM SERAT JATIPUSAKA MAKUTHA RAJA

Manusia secara umum universal memiliki hak dan kewajiban yang sama. Namun dalam konteks kehidupan selanjutnya, memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Dengan implikasi dan konsekuensi hak dan kewajiban yang berbeda pula.

Peran dan fungsi manusia ibarat wadah, bentuk, format. Sedangkan hak dan kewajiban adalah ibarat isi. Antara wadah dengan isi haruslah memiliki kesejajaran. Peran dan fungsi raja dilambangkan dengan mahkota dan baju kebesaran yang dikenakannya. Sehingga pada dasarnya simbolisasi peran raja yang memakai mahkota indah haruslah terwujud dalam kewajiban dan tugas serta tanggungjawab yang sesuai dengan baju yang dikenakannya.

Serat Makutha Raja merupakan tulisan Sultan Hamengku Buwono V yang merupakan pedoman bagi raja atau pemimpin. Sebagai buku, serat ini mengandung ajaran-ajaran moral yang seharusnya (das Sollen) dilakukan dan dijalankan oleh Raja ataupun pemimpin pada umumnya. Sebagai kitab ajaran, berisi aturan-aturan yang bersifat imperatif atau mengharuskan. Tetapi tentu saja ini juga merupakan bagian dari membangun kesadaran moral seorang pemimpin. Nampaknya Serat Makutha Raja ini merupakan saduran, adopsi atau setidak tidaknya mendapatkan inspirasi dari Kitab Tajussalatin yang berarti juga mahkota segala Raja. Satu buku yang berisi pedoman seni memegang pemerintahan berdasar pada ajaran agama Islam. Tajussalatin aslinya adalah dalam bahasa Persia, ditulis oleh Buchori Al Jauhari. Pada tahun 1012 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1603 M, buku ini disalin ke dalam bahasa Melayu. Hal yang memperkuat bahwa Serat Makutha Raja ini merupakan karangan yang mendapat inspirasi dari buku Tajussalatin, adalah kalimat pertama dalam Serat Makutha Raja:

“Mulku Raja ingkang nyakra buwana, menika mboten kenging ngendrani nilaraken Bukhori samsi narendra, sukahar retna adimurti serta sindhu upaka jati.”

Bukhori Al Jauhari berarti Bukhori ahli permata. Tetapi ada pula yang mengartikan Bukhori berarti banyak ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan Bahasa Arab kuno bahwa Bukhar berarti bijaksana dan juga berpengalaman. Kata Jauhari sejajar dengan istilah dalam Serat Makutha Raja, Retna Adimurti.

Tajussalatin sendiri berisi 24 fasal yang didahului dengan pendahuluan yang berisi nasihat mengenai budi pekerti atau moral pejabat negara, baik Raja, menteri ataupun hulubalang, serta tugas dan tanggungjawab mereka masing-masing. Dinamakan Tajussalatin karena mengingat bagi siapapun yang mau mempelajari serta mau menerima petunjuknya, akan memperoleh derajat raja yang sempurna sehingga layaklah baginya mengenakan mahkota. Ini selaras dengan kalimat di dalam Serat Makutha Raja Pupuh Sinom yang berbunyi:

“Mugi raharja laras saha ngresepaken tumrap sedaya tiyang, sarta sedaya bala. Serat menika sampun katangkaraken utawi kaserat malih ing wulan Ruwah, tahun Je ingkang sanatipun, dene sengkalanipun karti arganing giri loka gung, jeng Sri wayaskuru takrud rerenggan cundhuk kencana linangkung adi ingkang kawastanan makutha raja.”
Jadi di sini kita melihat bahwa seseorang yang memakai simbol makutha raja harusnya mencerminkan perilaku yang sesuai dengan simbol ataupun baju yang dikenakannya. Kalau kemudian kita bandingkan fenomena kekinian yang lebih mementingkan kemasan daripada isi, gelaran formal daripada gelaran amal. Maka fenomena kekinian banyak menunjukkan ketidak selarasan antara wadah dengan isi.

Di dalam Tajussalatin (Dipodjojo 1999): Fasal pertama berisi bagaimana manusia mengenal dirinya sendiri, bagaimana asal mulanya dan bagaimana terjadinya. Fasal kedua, berisi bagaimana orang mengenal Tuhan yang menjadikannya, menjadikan alam semesta dan lain-lain. Fasal ketiga, menyatakan bagaimana manusia harus mengenal dunia yang bersifat fana. Fasal keempat, menyatakan kesudahan kehidupan manusia dan saat terakhir manusia menjelang maut. Dikatakan bahwa manusia ini tergolong atas dua kelompok. Pertama orang yang hanya mengejar harta dan terlalu cinta pada dunia serta tidak menyadari bahwa dia akan mati. Yang kedua, manusia yang berbudi dan mengetahui bahwa dunia ini fana adanya. Fasal kelima berisi tentang martabat dan kekuasaan raja. Fasal keenam berisi tentang keadilan dan bagaimana menegakkan keadilan. Fasal ketujuh, menyatakan bagaimana budi pekerti raja yang adil dan jangan menjadi raja yang menindas. Fasal kedelapan, menyatakan mengenai raja yang kafir tetapi berlaku adil. Hal ini ingin menunjukkan kebaikan dan kebajikan itu tidaklah sia-sia, meskipun yang melakukannya orang kafir. Apalagi jika kebajikan itu dilakukan oleh orang yang beriman, akan bertambah-tambahlah kemuliaan dan kebajikan itu. Fasal kesembilan, menyatakan tentang kedhaliman dan penindasan. Diperingatkan pada fasal ini amat celakalah orang yang bertindak aniaya atau dhalim. Diberikan juga contoh hadis nabi yang berbunyi “Lima orang yang sangat dimurkai oleh Allah adalah raja yang dhalim, penghulu atau menteri yang murka, orang yang melalaikan ajaran agama, orang yang berlaku aniaya, serta raja yang melanggar hukum agama.” Fasal kesepuluh menyatakan tentang tugas dan kewajiban para pejabat negara. Pemerintahan atau kerajaan ibarat bangunan dengan empat tiang pokok. Empat tiang pokok itu adalah menteri yang berwibawa, panglima yang berani, khadzin atau bendahara yang dapat dipercaya, kemudian penyiar berita yang jujur. Fasal kesebelas menyatakan tentang tugas dan kewajiban para penulis kerajaan. Fasal keduabelas menyatakan tugas dan keajiban para duta kerajaan. Fasal ketigabelas menyatakan tentang budi pekerti semua hamba raja. Fasal keempatbelas menyatakan tentang cara mendidik anak. Fasal kelimabelas menyatakan tentang berlaku hemat yang benar. Fasal keenambelas menyatakan tentang akal dan orang yang berakal. Fasal ketujuhbelas menyatakan tentang undang-undang dasar kerajaan. Fasal kedelapanbelas menyatakan tentang ilmu kiafat dan firasat. Fasal kesembilanbelas tentang sifat-sifat atau tanda-tanda ilmu-ilmu tersebut. Fasal keduapuluh menyatakan tentang hubungan hamba yang Islam terhadap rajanya. Pasal keduapuluh satu menyatakan tentang hubungan hamba yang kafir terhadap rajanya. Pasal keduapuluhdua menyatakan tentang keadilan dan sifat mulia. Fasal keduapuluh tiga menyatakan tentang sifat menepati janji. Fasal ke duapuluh empat merupakan fasal penutup, diberikan petunjuk bagaimana melaksanakan pedoman pada fasal-fasal Tajussalatin supaya sentosa seluruh negeri.

Pada masa Hamengku Buwono V, terdapat naskah-naskah yang ditulis berdasarkan Kitab Tajussalatin. Yang pertama Serat Tajussalatin setebal 227 halaman berhuruf Jawa. Disalin sejak 5 Juni sampai 23 September 1851. Yang kedua Serat Tajussalatin setebal 494 halaman berhuruf Jawa dalam tembang Macapat. Waktu penyalinan 9 November 1851 sampai dengan 10 April 1852. Kemudian yang ketiga, Serat Tajussalatin dengan naskah lainnya antara lain Suluk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi, dan Serat Syeh Hidayatullah (Dipodjojo 1999).

Dalam Makutha Raja sendiri terdapat bagian tentang Tenajussalatin (Tajussalatin), antara lain disebutkan:

“Ana awasing ati jroning dhiri, kang disukma ing sir basir sukahar, salat tajul alam, panggoning ing sejatining nuring kadirun, ketemu tan bukari manik, tubadil cahyane pindha gigiring mimis, suci manungsa taka tama maya tara lapraja rabil ngalami aha tingal wisesa.
“Jro wulangan tulisan Tanajulsalatin, mungguh kamulyane Kang Maha Mulya, sewu nukadar weninge, jala sewu diteku, gunung sewu kang samawati, lembut sewu upaka, terang sewu surya iku, adi sewu janat retna, ngelmu iku pilih sujalma kang uning yen tan mawa nugraha.”

Serat Makutha Raja sendiri merupakan buku pedoman bagi raja-raja yang ditulis dan kemudian dikenalkan pada 19 November tahun 1851, pada masa Hamengku Buwono V dengan sistematika berdasarkan tembang ataupun sekar dalam tradisi kultural Jawa, yakni Pupuh Sinom, Pupuh Dandanggula, Pupuh Mijil, Pupuh Maskumambang, Pupuh Pangkur, Pupuh Kinanthi.

Keterkaitan antara Tajussalatin dengan Kagungan Dalem Serat Makutha Raja menunjukkan adanya hubungan kultural antara keraton dengan kitab-kitab yang berasal dari tradisi kultural Islam yang lain. Dan saya kira ini menjadi wajar karena pada dasarnya Keraton Mataram, khususnya Ngayogyakarta sendiri merupakan kerajaan yang berdasarkan Islam. Ini dibuktikan dengan gelar raja Ngarsa Dalem Sinuhun Senapati Ing Ngalaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah Fil ‘Ardh. Juga di[erluat dengan dibangunnya masjid sebagai bagian dari catur gatra tata kota dengan abdi dalem yang mengurusi masjid dan kehidupan agama Islam pada umumnya.

Dalam Serat Makutha Raja pupuh Sinom, ditunjukkan bagaimana raja harus mengingat asal usul maupun niat ketika hendak menjadi seorang pemimpin. Oleh karena itu perilakunya harus benar-benar tidak boleh meninggalkan aturan, sebagaimana tertulis:

“Menawi tumindakipun sampun dipun pundi, dipun enut, saestu mboten kenging nilaraken, kedah netepi asmanipun kalenggahanipun sang makutha raja adi”

Di samping itu juga, seorang raja harus tidak boleh lari dari tanggungjwab dan mementingkan ego maupun golongannya sendiri. Sebagaimana yang tertulis:

“Ratu ingkang nyakra buwana menika awas lan tansah saguh samadi, mboten pilih nilaraken praja, sarta golonganipun dipurih asih, nyakra buwana murti menika cakra mider nukma ing praen, destun dipun damari amrih terang ing jagad, nala, dipun campur mati sukma prasasat narendra.”

Karena raja mengikuti pranatan atau aturan, maka pejabat-pejabat negara seharusnya pula mengikuti raja dengan taat kepada aturan tersebut. Sebagaimana tertulis:

“Sarehning pranataning rat sampun cetha: Bala adi, pepatih, jeksa, sarta pangulu sasaged-saged kedah tansah mboten nilaraken babakuning pranatan. Pangangenging bala adi menawi badhe nggayuh resik kalamun asring dedemitan mesti badhe risak.”

Dalam hal itu pemimpin harus mengupayakan perilaku bersih, jangan bertindak sembunyi-sembunyi atau “dedhemitan”, sebab akan menyebabkan kerusakan. Dalam gagasan Jawa, raja bukanlah semata-mata merupakan representasi dari rakyat, melainkan juga karena mendapatkan wahyu atau kewahyon. Term ini mengimplikasikan bahwa seorang raja dapat menjaga ketertiban dan keteraturan. Ditandai dengan masyarakat yang tentram dan alam yang tertib atau teratur. Sehingga dalam hal ini apabila raja atau peminpin itu tepat sebagai orang yang mendapatkan wahyu, terjadi kondisi kosmik dan tidak terjadi kekacauan baik di dalam masyarakat maupun di dalam alam semesta.

Di dalam Pupuh Dandanggula tercatat seorang raja harus memiliki ilmu yang luas. Tertulis dalam hal ini:

“Kawruh bab Makutha Raja rumpakanipun ingkang para raja, ingkang tuhu budaya ing ngelmi, rumpakan pitutur sejati menika, sejatosipun wujud pamerdining rat mungguh ing hyang agung, ingkang tumrap para amirul panguwaos, marmanipun ingkang linangkung pinter pitados tan wali-wali nyawiji hangya yanjana.”

Seorang raja yang berilmu akan menguasai delapan dunia. Ini merupakan akulturasi dengan konsep hasta brata, dimana seorang raja harus memiliki sifat-sifat delapan kekuatan alam yakni hambeg pratala, yaitu sifat-sifat bumi yang berupa suka berdarma bakti sebagaimana sifat bumi. Diinjak-injak, diolah, dikeduk, tetapi tetap menampilkan kesuburan bahkan mempersembahkan kekayaannya. Yang kedua hambeg tirta, yakni sifat tenang, segar, jernih, dan menep. Kemudian hambeg dahana atau api, yakni berani memusnahkan segala rintangan. Kemudian hambeg angin atau maruta, yakni sifat luwes dapat berada di mana saja. Hambeg Surya, yaitu sifat-sifat yang menerangi. Kemudian hambeg candra, bercahaya lembut dan menerangi kegelapan. Hambeg sudama atau bintang, yakni dapat menjadi pedoman bagi siapapun. Hambeg mendung atau awan, bisa melindungi dari panas dan mengubah mendung menjadi hujan.

“Ingkang langkung bariyun nama adi astha rat kewengkon tanajul ing Makutha Raja dadosa pangrehing pangangkahipun. Dadosa jima nilap ing ngelmi drema murba ing manah.”

“Basa ratu rat ingkang pndha toya wening ingkang (kesorotan surya) sumorot nerus buwana astha semune dirga baryun jala tanpa tepi nyakra buwana adi nerus dirganing (ing puncaking) paningal.”

Konsep nilai kultural Jawa amat menghormati harmoni antara mikrokosmos dengan kosmos. Tugas manusia adalah menjaga harmoni antara dirinya sendiri, sesama manusia, alam semesta dan dengan Tuhan. Maka term yang mendukung terselenggaranya harmoni menjadi sangat penting dan menjadi kata kunci. Empan papan, lambe ati, duga prayoga, tepa salira, mulat salira, hanrasa wani, rukun, guyub, gotong royong dan lain sebagainya menjadi sangat penting. Kalau harmoni terganggu maka diperlukan ruwatan maupun slametan yang akan mengembalikan kondisi harmoni.

Konsep kosmologi Jawa dalam memandang realitas menarik un¬tuk kita simak. Menurut pandangan ini, alam merupakan perwujudan dari makrokosmos yang harus dijaga kesera¬siannya oleh mikrokosmos yang terwujud dalam lingkungan buatan atau bahkan teraktualisasi dalam diri manusia itu sendiri. Manusia Jawa menempatkan sasaran pemaham¬annya dalam suatu tertib kosmik vertikal atau horisontal. Dalam konsep kosmologi Jawa, dikenal Mancapat, kumanca papat, keempat kawan yang secara kosmologis mengiringi tiap sub¬stansi realitas. Kebenaran individu¬al akan ditemukan bila diketahui kedudukannya dalam ruang empat segi yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, pusat-kliwon-raja. Kedua, timur-legi-tanah. Ketiga, se¬latan-pahing-api. Keempat, barat-pon-angin. Kelima, utara-wage-air. Di sini sudah termuat empat unsur substansial alam semesta, perhitungan waktu, mata angin, yang kelak akan membawa implikasi dalam kehidup¬an yang lebih luas. Se¬hingga manusia Jawa akan memahami diri dan setiap sub¬stansi atau fenomena di luar dirinya dalam susunan empat-lima, dimana yang berada di pusat yakni manusia itu sendiri mencakup keselu¬ruhan. Apriori ruang empat segi akan me¬warnai pengamatannya, pema¬hamannya, sebagai sesuatu yang melandasi ekstensi identitas-individuali¬tasnya. Manusia bahkan harus mampu menghadirkan lingkungan hidup¬nya, pekerjaannya, hubungan antara lingkungan sosialnya pada cakrawala empat-lima tersebut. Struktur makrokosmos dalam alam semesta di¬hadirkan dan diaktualisasikan dalam dimensi mikrokosmos yang konkret. Secara konkret konsep kosmolo¬gis tersebut tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa secara luas.

Transendensi manusia berkaitan dengan kemampuannya un¬tuk mengembangkan pengetahuan dengan cara mengungkap¬kan apa yang menjadi misteri realitas. Muncul paradoksalitas manusia, karena posisi¬nya yang khas dan unik. Di satu sisi manusia menyadari dirinya sebagai substansi utuh yang me¬muat keempat taraf realitas, di sisi lain ia juga memiliki ke¬mampuan untuk memisahkan maupun memilahkannya. Di satu sisi manusia juga bersifat menjasmani (imanen) seba¬gaimana sub¬stansi realitas yang lain, tetapi di sisi lain ia ber¬sifat meruhani (transenden). Karena posisinya yang unik itulah manusia memiliki peran penting dalam memelihara kosmos (keteraturan) atau bahkan mencip¬takan chaos (kekacauan). Terpeliharanya keteraturan alam semesta, atau terjadinya kekacauan, sedikit banyaknya ditentukan oleh moralitas, peran, dan keputusan tindakan manusia sebagai “pusat” alam semesta. Di antara substansi penyusun alam semesta hanya manusialah yang memuat secara lengkap em¬pat taraf realitas, manusialah yang paling jelas otonominya dibandingkan makhluk atau substansi lain. Manusia adalah makhluk atau substansi yang paling sadar akan dirinya.

Manusia tidak dapat dilawankan dengan alam semesta; justru se¬baliknya menjadi bagian integral alam itu sendiri. Manusia juga yang se¬cara intens menentukan kualitas alam semesta, dan alam ini mendapatkan artinya yang paling dalam dari adanya manusia. Di satu pihak manusia menjadi manusia oleh karena ia menjadi ‘bagian” alam. Akan tetapi se¬baliknya oleh adanya manusia alam menjadi sungguh-sungguh alam, dan kehadiran manusia membuat alam semesta ini menjadi “manusiawi” (Bakker 1995: 64).

Raja atau pemimpin adalah peran khusus manusia sebagai suh atau inti dari kondisi harmoni tersebut. Jadi seorang raja atau pemimpin yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk membangun kondisi harmoni akan gugur legitimasinya sebagai pemimpin. Tentu ini harus diawali dengan menciptakan harmoni dalam dirinya sendiri.

Dalam pupuh Pangkur, tugas menjaga harmoni, diuraikan bahwa seorang raja haruslah melaksanakan Astha Brongta Winangngun Jaya Resmi. Delapan cara hidup yang berdasarkan keindahan atau harmoni. Yang pertama, adalah sebagai penguasa yang diteladani insan sedunia. Mulku tinuladh ing sanningrat. Sifat kedua, penguasa bertugas menghilangkan kekhawatiran masyarakat. Salah satunya dengan cara penjahat dibasmi tanpa pandang bulu. Yang ketiga, raja atau pemimpin bertugas untuk berderma seperti bunga-bunga berguguran yang menyebarkan semerbak harum mewanginya. Yang keempat, pemimpin atau raja harus memiliki sifat welas asih dan selalu melaksanakan ajaran-ajaran kebaikan, ketentraman, dalam kesucian. Yang kelima, mensejahterakan dengan keselamatan, sehingga semuanya menikmati, mengubah kemarahan ke dalam kesabaran yang tinggi. Yang keenam, raja atau pemimpin harus mengusahakan kesejahteraan, kenikmatan, kebaikan, kepada semua orang-orang yang telah membantunya. Yang ketujuh, raja atau pemimpin harus pasrah tawakkal terhadap anugrah Tuhan yang diberikan kepadanya. Yang kedelapan, raja atau pemimpin memiliki kemampuan untuk berguna bagi seluruh wilayah yang dikuasainya.

Keterangan di atas sesungguhnya juga merupakan aktualisasi dari Astha Brata. Pada konteks zaman sekarang relevansi ajaran kepemimpinan pada kitab atau serat lama masih dapat digunakan secara substansial. Tentu dengan modifikasi tertentu yang disesuaikan dengan konteks zaman. Sebab kualitas kepempinan tidak sematamata diukur dari sejauhmana ia mampu menguasai alam dan mengendalikannya, namun juga diukur dari sejauhmana ia dapat menguasai dan mengendalikan dirinya sendiri.

Moralitas kepemimpinan dapat dikembangkan dengan kesadaran transendental atas keyakinan kebenaran agama. Tentu jangan sampai terjadi agama berhenti pada tataran formalistik, sehingga agama justru dipakai sebagai alat pembenaran untuk meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Namun tentu saja faktualitas kultural dan aktualitas zaman dan persoalan haruslah pula menjadi pertimbangan.

Dimasa masa mendatang, diperlukan suatu pedoman moral bagi para pemimpin yang tidak melulu didasarkan atas paradigma kepemimpinan “barat” yang barangkali memiliki akar kultural dan cara pemecahan masalah yang berbeda dengan kita. Sehingga penelitian lebih lanjut mengenai ajaran moral kepemimpinan baik berdasarkan paradigma keislaman maupun akar kultural kita sendiri dapat dilakukan. Sehingga gagasan maupun aktualisasi kepemimpinan kita dapat dilakukan tanpa harus tercerabut dari akar tradisi kita sendiri.

Oleh :
Achmad Charris Zubair
Dosen Fakultas Filsafat UGM
Ketua Umum Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta

Label: